100 Tahun Misteri Quantum
Oleh: Max Tegmark dan John Archibald Wheeler
(Sumber: Scientific American, Februari 2001, hal. 68-75)
(Sumber: Scientific American, Februari 2001, hal. 68-75)
Sementara teori quantum merayakan ulangtahun ke-100, berbagai kesuksesan spektakulernya bercampur dengan teka-teki bandel.
“Dalam beberapa tahun ke depan, semua konstanta fisikal penting akan telah dikalkulasi, dan…satu-satunya pekerjaan yang tersisa bagi orang-orang sains saat itu adalah membawa pengukuran ini ke posisi desimal berikutnya.” Seiring kita memasuki abad 21 di tengah banyak kegemparan prestasi masa lalu, sentimen ini mungkin terdengar akrab. Tapi kutipan di atas keluar dari James Clerk Maxwell dan berasal dari pidato pelantikannya di Universitas Cambridge tahun 1871 yang mengungkapkan suasana di masa itu (walaupun suasana tersebut tidak disetujuinya). Tiga dekade kemudian, 14 Desember 1900, Max Planck mengumumkan rumusannya untuk spektrum benda hitam, letusan pertama revolusi quantum.
Artikel ini meninjau ulang 100 tahun pertama mekanika quantum, dengan fokus khusus pada sisi misteriusnya, memuncak dalam perdebatan berkelanjutan tentang konsekuensinya terhadap berbagai isu, mulai dari komputasi quantum hingga kesadaran, alam-alam semesta paralel, dan sifat dasar realitas fisik. Kami mengabaikan deretan penerapan ilmiah dan praktis yang mencengangkan yang ditopang oleh mekanika quantum: hari ini diperkirakan 30% PDB Amerika Serikat didasarkan pada penemuan yang diwujudkan oleh mekanika quantum, mulai dari semikonduktor pada chipkomputer hingga laser pada pemutar CD, pencitraan resonansi magnetik di rumah sakit, dan banyak lagi.
Pada 1871, para ilmuwan punya alasan bagus untuk optimisme mereka. Mekanika klasik dan elektrodinamika telah mentenagai revolusi industri, dan kelihatannya persamaan-persamaan dasar mereka dapat menjelaskan semua sistem fisikal. Tapi segelintir detil menggemaskan menodai gambaran ini. Contoh, spektrum cahaya yang dipancarkan oleh objek panas berpijar tidak cocok dengan kalkulasi. Bahkan, prediksi klasik tersebut dijuluki sebagai petaka ultraviolet. Menurut prediksi ini, radiasi ultraviolet kuat dan sinar X semestinya membutakan mata saat Anda melihat unsur pemanas pada kompor.
Bencana Hidrogen
Dalam makalah tahun 1900, Planck berhasil memperoleh spektrum yang tepat. Namun perolehannya melibatkan asumsi yang begitu ganjil, sampai-sampai dia sendiri menjauhinya selama bertahun-tahun kemudian: energi hanya dipancarkan dalam [wujud] bongkahan, atau “quantum”, yang terbatas. Tapi asumsi aneh ini terbukti sangat sukses. Pada 1905, Albert Einstein membawa ide ini selangkah lebih jauh. Dengan berasumsi bahwa radiasi dapat mengangkut energi hanya dalam gumpalan atau “foton” semacam itu, dia menjelaskan efek fotoelektrik, yang terkait dengan proses-proses pada sel surya modern dan sensor citra pada kamera digital.
Dalam makalah tahun 1900, Planck berhasil memperoleh spektrum yang tepat. Namun perolehannya melibatkan asumsi yang begitu ganjil, sampai-sampai dia sendiri menjauhinya selama bertahun-tahun kemudian: energi hanya dipancarkan dalam [wujud] bongkahan, atau “quantum”, yang terbatas. Tapi asumsi aneh ini terbukti sangat sukses. Pada 1905, Albert Einstein membawa ide ini selangkah lebih jauh. Dengan berasumsi bahwa radiasi dapat mengangkut energi hanya dalam gumpalan atau “foton” semacam itu, dia menjelaskan efek fotoelektrik, yang terkait dengan proses-proses pada sel surya modern dan sensor citra pada kamera digital.
Fisika menghadapi aib besar lainnya pada 1911. Ernest Rutherford berargumen secara meyakinkan bahwa atom terdiri dari elektron-elektron yang mengorbit nukleus bermuatan positif, menyerupai tata surya mini. Tapi teori elektromagnetik memprediksi elektron pengorbit terus-menerus memancarkan energi mereka sampai habis dan bergelung-gelung menuju nukleus dalam waktu kira-kira sepertriliun detik. Tentu saja, atom hidrogen dikenal sangat stabil. Nyatanya, selisih ini merupakan kegagalan kuantitatif terburuk dalam sejarah fisika—prediksi umur hidup hidrogen yang lebih rendah sekitar 40 orde magnitudo.
Pada 1913, Niels Bohr, yang datang ke Universitas Manchester di Inggris untuk bekerjasama dengan Rutherford, menyediakan penjelasan yang lagi-lagi memakai quantum. Dia berpostulat, momentum sudut elektron hanya timbul dalam jumlah spesifik, yang akan membatasi mereka pada seperangkat orbit tersendiri. Elektron-elektron dapat memancarkan energi hanya dengan melompat dari satu orbit demikian ke orbit lebih rendah dan melepas foton individual. Karena elektron di orbit terdalam tak punya [pilihan] orbit-orbit berenergi lebih rendah untuk dilompati, itu membentuk atom yang stabil.
Teori Bohr juga menjelaskan banyak garis spektrum hidrogen—frekuensi spesifik cahaya yang dipancarkan oleh atom-atom terstimulasi. Itu juga berlaku untuk atom helium, tapi hanya jika salah satu dari dua elektronnya dihilangkan. Kembali ke Kopenhagen, Bohr mendapat surat dari Rutherford yang menyuruhnya mempublikasikan hasil temuannya. Bohr menulis balasan bahwa tak ada yang akan mempercayainya kecuali kalau dia menjelaskan spektrum semua unsur. Rutherford membalas: Bohr, kau menjelaskan hidrogen dan kau menjelaskan helium, maka setiap orang akan mempercayai selebihnya.
Terlepas dari kesuksesan awal ide quantum, fisikawan masih tak tahu apa yang harus dipahami dari aturannya yang aneh dan khusus. Nampaknya tak ada prinsip pemandu. Pada 1923, Louis de Broglie mengusulkan sebuah jawaban dalam tesis doktoralnya: elektron dan partikel lain beraksi seperti gelombang tegak/berdiri. Gelombang demikian, mirip getaran senar gitar, hanya dapat timbul dengan frekuensi diskret (terquantisasi) tertentu. Saking luar biasanya ide ini, panitia penguji sampai pergi keluar perkumpulannya untuk mencari nasehat. Einstein, saat ditanyai, memberi pendapat setuju, maka tesis pun diterima.
Pada November 1925, Erwin Schrödinger memberikan seminar tentang penelitian de Broglie di Zurich. Begitu dia selesai, Peter Debye bertanya, “Anda bicara soal gelombang, tapi mana persamaan gelombangnya?” Schrödinger kemudian memperlihatkan persamaan miliknya, kunci induk untuk banyak fisika modern. Rumusan sepadan yang memanfaatkan matriks diberikan oleh Max Born, Pascual Jordan, dan Werner Heisenberg pada waktu yang hampir sama. Dengan tiang fondasi matematis yang kokoh ini, teori quantum membuat kemajuan eksplosif. Dalam beberapa tahun, fisikawan telah menjelaskan sekumpulan pengukuran, termasuk spektrum atom-atom yang lebih kompleks dan atribut reaksi kimiawi.
Tapi apa arti semua itu? Apa kuantitas, “fungsi gelombang”, yang dideskripsikan oleh persamaan Schrödinger ini? Teka-teki sentral mekanika quantum ini masih menjadi isu keras dan kontroversial sampai hari ini.
Born memegang pemahaman bahwa fungsi gelombang mesti ditafsirkan dalam perspektif probabilitas. Ketika pelaku eksperimen mengukur lokasi elektron, probabilitas menemukannya di tiap kawasan bergantung pada magnitudo fungsi gelombangnya di situ. Penafsiran ini mengisyaratkan bahwa kesembarangan fundamental digabungkan ke dalam hukum alam. Einstein sangat tidak senang dengan kesimpulan ini dan lebih menyukai alam semesta deterministik, melalui pernyataannya yang sering dikutip, “Saya tidak percaya Tuhan bertaruh.”
Kucing Aneh dan Kartu Quantum
Schrödinger juga resah. Fungsi gelombang dapat melukiskan kombinasi berbagai status, disebut superposisi. Contoh, sebuah elektron bisa berada dalam superposisi beberapa lokasi sekaligus. Schrödinger menguraikan, jika objek-objek mikroskopis seperti atom bisa berada dalam superposisi aneh, maka begitupun objek-objek makroskopis, karena mereka terbuat dari atom. Sebagai contoh ganjil, dia menggambarkan eksperimen pikiran yang kini masyhur, di mana sebuah alat keji membunuh seekor kucing jika atom radioaktif membusuk. Karena atom radioaktif memasuki superposisi membusuk dan tidak membusuk, itu menghasilkan kucing yang mati dan hidup dalam superposisi.
Schrödinger juga resah. Fungsi gelombang dapat melukiskan kombinasi berbagai status, disebut superposisi. Contoh, sebuah elektron bisa berada dalam superposisi beberapa lokasi sekaligus. Schrödinger menguraikan, jika objek-objek mikroskopis seperti atom bisa berada dalam superposisi aneh, maka begitupun objek-objek makroskopis, karena mereka terbuat dari atom. Sebagai contoh ganjil, dia menggambarkan eksperimen pikiran yang kini masyhur, di mana sebuah alat keji membunuh seekor kucing jika atom radioaktif membusuk. Karena atom radioaktif memasuki superposisi membusuk dan tidak membusuk, itu menghasilkan kucing yang mati dan hidup dalam superposisi.
Ilustrasi di bawah memperlihatkan varian sederhana eksperimen pikiran ini. Anda mengambil kartu berpinggir tajam sempurna dan memberdirikannya seimbang di atas meja. Menurut fisika klasik, pada prinsipnya ia akan tetap seimbang selamanya. Menurut persamaan Schrödinger, kartu akan jatuh dalam hitungan beberapa detik sekalipun Anda berusaha sebaik mungkin untuk mengimbangkannya, dan ia akan jatuh ke dua arah—kiri dan kanan—dalam superposisi.
Jika Anda mampu melakukan eksperimen pikiran ideal ini dengan kartu sungguhan, tak diragukan lagi Anda akan mendapati fisika klasik keliru dan kartunya jatuh. Tapi Anda akan selalu melihatnya jatuh ke kiri atau ke kanan, secara sembarang, tak pernah ke kiri dan ke kanan serentak, sebagaimana diyakinkan oleh persamaan Schrödinger. Kontradiksi ini menjadi inti salah satu misteri awal dan kronis mekanika quantum.
Interpretasi Kopenhagen atas mekanika quantum, yang tumbuh dari diskusi antara Bohr dan Heisenberg di akhir 1920-an, menyinggung misteri ini dengan menyatakan bahwa pengamatan, atau pengukuran, adalah istimewa. Asalkan kartu seimbang tidak diamati, fungsi gelombangnya berevolusi dengan mematuhi persamaan Schrödinger—evolusi sinambung dan halus yang disebut “uniter” dalam matematika dan mempunyai beberapa atribut amat menarik. Evolusi uniter menghasilkan superposisi di mana kartu telah jatuh ke kiri dan ke kanan. Namun tindakan mengamati kartu memicu perubahan mendadak pada fungsi gelombangnya, lazimnya disebut kekolapsan: pengamat melihat kartu dalam satu status klasik definitif (tengadah atau telungkup), dan mulai dari situ hanya bagian fungsi gelombang tersebut yang bertahan. Alam diduga memilih satu status secara sembarang, di mana probabilitasnya ditentukan oleh fungsi gelombang.
Interpretasi Kopenhagen menyediakan resep sukses untuk melakukan kalkulasi yang secara akurat melukiskan hasil-hasil eksperimen, tapi tetap ada kecurigaan bahwa suatu persamaan harus mendeskripsikan kapan dan bagaimana kekolapsan ini terjadi. Banyak fisikawan menganggap ketiadaan persamaan ini berarti ada yang salah secara intrinsik dengan mekanika quantum dan bahwa itu akan segera digantikan oleh teori yang lebih fundamental yang akan menyediakan persamaan demikian. Jadi alih-alih merenungi implikasi ontologis persamaan-persamaan tersebut, mayoritas fisikawan maju sedikit demi sedikit untuk mengerjakan banyak penerapan menggairahkan dan mengurusi persoalan fisika nuklir yang mendesak dan belum terpecahkan.
Pendekatan pragmatis ini terbukti berhasil. Mekanika quantum sangat menolong dalam memprediksi antimateri, memahami keradioaktifan (menggiring pada tenaga nuklir), menerangkan perilaku material-material semisal semikonduktor, menjelaskan superkonduktivitas, dan mendeskripsikan interaksi-interaksi seperti antara cahaya dan materi (menggiring pada penemuan laser) dan antara gelombang radio dan nukleus (menggiring pada pencitraan resonansi magnetik). Banyak kesuksesan mekanika quantum melibatkan ekstensinya, teori medan quantum, yang membentuk fondasi fisika partikel unsur hingga mencapai batas eksperimen osilasi neutrino dan pencarian partikel Higgs dan supersimetri pada hari ini.
Banyak Dunia
Menjelang 1950-an, pawai kesuksesan ini memperjelas bahwa teori quantum bukan sekadar perbaikan temporer berumur pendek. Maka, pada pertengahan 1950-an, seorang mahasiswa Universitas Princeton bernama Hugh Everett III memutuskan memeriksa kembali postulat kekolapsan dalam tesis doktoralnya. Everett mendorong ide quantum sampai ke titik ekstrim dengan mengajukan pertanyaan berikut: bagaimana kalau evolusi waktu seluruh alam semesta selalu uniter? Biar bagaimanapun, jika mekanika quantum memadai untuk mendeskripsikan alam semesta, maka status mutakhir alam semesta dideskripsikan oleh fungsi gelombang (fungsi gelombang yang luar biasa kompleks). Dalam skenario Everett, fungsi gelombang tersebut akan selalu berevolusi dengan cara deterministik, tak menyisakan ruang untuk kekolapsan non-uniter misterius atau pertaruhan Tuhan.
Menjelang 1950-an, pawai kesuksesan ini memperjelas bahwa teori quantum bukan sekadar perbaikan temporer berumur pendek. Maka, pada pertengahan 1950-an, seorang mahasiswa Universitas Princeton bernama Hugh Everett III memutuskan memeriksa kembali postulat kekolapsan dalam tesis doktoralnya. Everett mendorong ide quantum sampai ke titik ekstrim dengan mengajukan pertanyaan berikut: bagaimana kalau evolusi waktu seluruh alam semesta selalu uniter? Biar bagaimanapun, jika mekanika quantum memadai untuk mendeskripsikan alam semesta, maka status mutakhir alam semesta dideskripsikan oleh fungsi gelombang (fungsi gelombang yang luar biasa kompleks). Dalam skenario Everett, fungsi gelombang tersebut akan selalu berevolusi dengan cara deterministik, tak menyisakan ruang untuk kekolapsan non-uniter misterius atau pertaruhan Tuhan.
Alih-alih dikolapskan oleh pengukuran, superposisi mikroskopis diperkuat secara pesat menjadi superposisi makroskopis rumit. Kartu quantum kita akan betul-betul berada di dua tempat sekaligus. Lebih lanjut, seseorang yang memperhatikan kartu akan memasuki superposisi dua status mental berlainan, masing-masing mengindera salah satu dari dua hasil. Jika Anda mempertaruhkan uang pada kartu ratu menghadap ke atas, Anda akan berakhir dalam superposisi tersenyum dan cemberut. Pemahaman brilian Everett adalah bahwa para pengamat di dunia quantum deterministik tapi skizofrenis semacam ini dapat mengindera realitas lama sederhana yang sudah kita kenal. Yang paling penting, mereka dapat mengindera kesembarangan nyata yang mematuhi aturan probabilitas tepat [lihat ilustrasi di bawah].
Sudut pandang Everett, formalnya disebut rumusan status relatif, jadi populer dikenal sebagai interpretasimany-worlds mekanika quantum, karena setiap komponen superposisi seseorang mengindera dunianya sendiri. Sudut pandang ini menyederhanakan teori pokok dengan menyingkirkan postulat kekolapsan. Tapi harga yang harus dibayar untuk kesederhanaan ini adalah kesimpulan bahwa persepsi-persepsi paralel terhadap realitas ini sama-sama riil.
Penelitian Everett sebagian besar dikesampingkan selama sekitar dua dekade. Banyak fisikawan masih berharap akan ditemukan teori lebih dalam, yang menunjukkan bahwa dunia tetaplah klasik, bebas dari keanehan seperti adanya objek-objek besar di dua tempat sekaligus. Tapi harapan demikian diremukkan oleh sederet eksperimen baru.
Mungkinkah kesembarangan quantum digantikan oleh suatu jenis kuantitas tak dikenal yang dibawa-bawa di dalam partikel—yang disebut variabel tersembunyi? Teoris CERN, John S. Bell, menunjukkan bahwa dalam kasus ini kuantitas-kuantitas yang dapat diukur dalam eksperimen sulit tertentu pasti akan bertentangan dengan prediksi quantum standar. Setelah bertahun-tahun, teknologi memungkinkan periset melakukan eksperimen dan menyingkirkan variabel tersembunyi sebagai suatu kemungkinan.
Eksperimen “pilihan tertunda” yang diusulkan oleh salah satu dari kami (Wheeler) pada 1978 berhasil dilaksanakan pada 1984, sekali lagi menunjukkan fitur quantum dunia yang menentang deskripsi klasik: bukan hanya bahwa foton bisa berada di dua tempat sekaligus, tapi juga bahwa pelaku eksperimen dapat memilih, menuruti fakta tersebut, apakah foton berada di kedua tempat atau di satu tempat saja.
Eksperimen interferensi celah ganda, di mana cahaya atau elektron melintasi dua celah dan menghasilkan pola interferensi, yang dielu-elukan oleh Richard Feynman sebagai induk semua efek quantum, berhasil diulangi pada objek yang semakin besar: atom, molekul kecil, dan terakhir buckyball 60-atom. Setelah prestasi tahun lalu ini, kelompok Anton Zeilinger di Wina bahkan mulai membahas pelaksanaan eksperimen dengan virus. Singkatnya, putusan eksperimen sudah terbit: keanehan dunia quantum adalah nyata, suka tidak suka.
Penyensoran Quantum—Dekoherensi
Kemajuan eksperiman beberapa dekade lalu diimbangi oleh kemajuan besar dalam pemahaman teoritis. Penelitian Everett meninggalkan dua pertanyaan krusial. Pertama, jika dunia memang mengandung superposisi makroskopis ganjil, kenapa kita tidak menginderanya?
Kemajuan eksperiman beberapa dekade lalu diimbangi oleh kemajuan besar dalam pemahaman teoritis. Penelitian Everett meninggalkan dua pertanyaan krusial. Pertama, jika dunia memang mengandung superposisi makroskopis ganjil, kenapa kita tidak menginderanya?
Jawabannya muncul pada 1970 bersama makalah rintisan karya H. Dieter Zeh dari Universitas Heidelberg, yang menunjukkan bahwa persamaan Schrödinger sendiri melahirkan sejenis penyensoran. Efek ini kemudian dikenal sebagai dekoherensi, sebab superposisi ideal murni konon bersifat koheren. Dekoherensi dikerjakan secara sangat detil oleh ilmuwan Los Alamos Wojciech H. Zurek, Zeh, dan lain-lain selama beberapa dekade berikutnya. Mereka menemukan, superposisi koheren hanya berlangsung selama ia tetap rahasia dari dunia. Kartu quantum yang jatuh ditubruk tanpa henti oleh molekul udara dan foton, yang dengan begitu mendeteksi apakah itu telah jatuh ke kiri atau ke kanan, merusak (“mendekoherensi”) superposisi dan menjadikannya tak bisa diamati [lihat boks di bawah].
Lingkungan seakan-akan bertindak sebagai pengamat, mengkolapskan fungsi gelombang. Asumsikan teman Anda memperhatikan kartu tanpa memberitahu Anda hasilnya. Menurut interpretasi Kopenhagen, pengukuran olehnya mengkolapskan superposisi ke dalam hasil definitif, dan deskripsi terbaik Anda tentang kartu tersebut berganti dari superposisi quantum ke representasi klasik ketidaktahuan Anda akan apa yang dia lihat. Secara longgar, kalkulasi dekoherensi menunjukkan bahwa Anda tak butuh manusia pengamat (atau kekolapsan fungsi gelombang yang eksplisit) untuk memperoleh efek yang sama—molekul udara yang memantul dari kartu jatuh pun akan mencukupi. Interaksi kecil tersebut mengganti superposisi ke situasi klasik secara pesat untuk segala macam kegunaan.
Dekoherensi menjelaskan mengapa kita tidak melihat superposisi quantum di dunia sekeliling kita. Itu bukan karena mekanika quantum berhenti berfungsi pada objek-objek yang lebih besar dari ukuran ajaib. Objek makroskopis seperti kucing dan kartu hampir mustahil untuk diisolasi sampai taraf tertentu demi mencegah dekoherensi. Sebaliknya, objek mikroskopis lebih mudah diisolasi dari lingkungannya agar mempertahankan perilaku quantum.
Pertanyaan kedua dalam gambaran Everett agak lebih halus tapi sama pentingnya: mekanisme apa yang memilih status-status klasik—tengadah ke atas dan telungkup ke bawah—sebagai status istimewa? Dipertimbangkan sebagai status quantum abstrak, tak ada yang istimewa dari status-status ini dibandingkan dengan superposisi ke atas dan ke bawah yang berlimpah dalam beragam ukuran. Kenapa [teori] many-worldsterbelah ketat pada tema ke atas/ke bawah yang kita kenal akrab dan tak pernah ada alternatif lain? Dekoherensi menjawab pertanyaan ini juga. Kalkulasi menunjukkan, status-status klasik seperti tengadah atau telungkup adalah persis status yang tahan terhadap dekoherensi. Dengan kata lain, interaksi dengan lingkungan sekitar takkan membuat kartu tengadah dan telungkup terganggu tapi akan mendorong superposisi ke atas dan ke bawah memasuki alternatif klasik tengadah/telungkup.
Dekoherensi dan Otak
Fisikawan punya tradisi menganalisa alam semesta dengan membelahnya ke dalam dua bagian. Contoh, dalam termodinamika, para teoris memisahkan sebuah materi dari segala sesuatu di sekitarnya (“lingkungan”), yang mungkin menyediakan kondisi temperatur dan tekanan. Secara tradisional fisika quantum memisahkan sistem quantum dari alat pengukur klasik. Jika keuniteran dan dekoherensi diambil serius, maka ada manfaatnya membelah alam semesta ke dalam tiga bagian, masing-masing dideskripsikan oleh status quantum: objek yang dipertimbangkan, lingkungan, dan pengamat atau subjek [lihat boks di bawah].
Fisikawan punya tradisi menganalisa alam semesta dengan membelahnya ke dalam dua bagian. Contoh, dalam termodinamika, para teoris memisahkan sebuah materi dari segala sesuatu di sekitarnya (“lingkungan”), yang mungkin menyediakan kondisi temperatur dan tekanan. Secara tradisional fisika quantum memisahkan sistem quantum dari alat pengukur klasik. Jika keuniteran dan dekoherensi diambil serius, maka ada manfaatnya membelah alam semesta ke dalam tiga bagian, masing-masing dideskripsikan oleh status quantum: objek yang dipertimbangkan, lingkungan, dan pengamat atau subjek [lihat boks di bawah].
Dekoherensi yang ditimbulkan oleh lingkungan yang berinteraksi dengan objek atau subjek menjamin kita takkan pernah mengindera superposisi quantum status-status mental. Lagipula, otak kita terjalin erat dengan lingkungan, dan dekoherensi sel-sel syaraf kita yang meletus tidak dapat dihindari dan pada dasarnya [berlangsung] seketika. Sebagaimana ditekankan Zeh, kesimpulan ini menjustifikasi tradisi lama penggunaan postulat kekolapsan fungsi gelombang sebagai resep pragmatis “diam dan hitung”: komputasikan probabilitas seolah-olah fungsi gelombang kolaps ketika objek diamati. Meskipun dalam pandangan Everett fungsi gelombang tak pernah kolaps secara teknis, para periset dekoherensi umumnya sepakat dekoherensi menghasilkan efek bercorak dan berbau kekolapsan.
Penemuan dekoherensi, digabung dengan demonstrasi eksperimental keanehan quantum yang semakin terperinci, telah mengakibatkan pergeseran pandangan fisikawan secara nyata. Motivasi utama pengenalan gagasan kolapsnya fungsi gelombang adalah untuk menjelaskan kenapa eksperimen-eksperimen membuahkan hasil spesifik dan bukan superposisi hasil yang aneh. Kini mayoritas motivasi itu lenyap. Terlebih, sungguh memalukan, belum ada seorangpun menyediakan persamaan deterministik yang dapat diuji yang merinci kapan kekolapsan misterius diduga terjadi.
Jajak pendapat tak resmi yang dilakukan pada Juli 1999 di sebuah konferensi komputasi quantum di Isaac Newton Institute di Cambridge, Inggris, mengisyaratkan sudut pandang umum sedang bergeser. Dari 90 fisikawan yang dimintai pendapat, cuma delapan yang menyatakan pandangan mereka melibatkan kekolapsan fungsi gelombang eksplisit. Tiga puluh orang memilih “[teori] many-worlds atau sejarah bersesuaian (tanpa ide kekolapsan)”. (Kasarnya, pendekatan sejarah bersesuaian (consistent histories) menganalisa berderet-deret pengukuran dan mengumpulkan berbundel-bundel hasil alternatif yang akan membentuk “sejarah” bersesuaian menurut pengamat.)
Tapi gambaran ini tidak jelas: 50 dari periset memilih “bukan dua-duanya atau tidak memutuskan”. Kebingungan lingustik yang merajalela mungkin turut berkontribusi pada angka besar ini. Sudah lumrah dua fisikawan yang mengaku menganut interpretasi Kopenhagen, misalnya, tidak sepakat dengan apa yang mereka maksudkan.
Jajak pendapat tersebut mengindikasikan dengan jelas bahwa sudah waktunya memutakhirkan buku teks quantum: walaupun buku-buku ini, di bab awal, mutlak mendaftarkan kekolapsan non-uniter eksplisit sebagai postulat fundamental, jajak pendapat di atas menunjukkan hari ini banyak fisikawan—sekurangnya di bidang komputasi quantum—tidak menganggapnya secara serius. Tak diragukan lagi, gagasan kekolapsan akan mempertahankan kegunaan hebat sebagai resep kalkulasi, tapi keberatan tambahan, yang mengklarifikasi bahwa itu barangkali bukan proses fundamental yang melanggar persamaan Schrödinger, dapat menyelamatkan para pelajar cerdik dari kebingungan berjam-jam.
Menatap ke Depan
Setelah 100 tahun ide-ide quantum, ada apa di depan sana? Misteri apa yang tersisa? Mengapa quantum? Walaupun isu-isu dasar ontologi dan sifat puncak realitas seringkali muncul dalam diskusi cara menafsirkan mekanika quantum, teori ini barangkali hanyalah satu keping dalam puzzle besar. Teori-teori dapat disusun secara mentah ke dalam pohon silsilah di mana masing-masingnya, setidaknya secara prinsip, mungkin diperoleh dari teori lebih fundamental di atasnya. Hampir di puncak pohon terdapat relativitas umum dan teori medan quantum. Tingkat keturunan pertama meliputi relativitas khusus dan mekanika quantum, yang pada gilirannya menelurkan elektromagnetisme, mekanika klasik, fisika atom, dan sebagainya. Disiplin-disiplin semisal ilmu komputer, psikologi, dan kedokteran rupanya jauh berada di bawah.
Setelah 100 tahun ide-ide quantum, ada apa di depan sana? Misteri apa yang tersisa? Mengapa quantum? Walaupun isu-isu dasar ontologi dan sifat puncak realitas seringkali muncul dalam diskusi cara menafsirkan mekanika quantum, teori ini barangkali hanyalah satu keping dalam puzzle besar. Teori-teori dapat disusun secara mentah ke dalam pohon silsilah di mana masing-masingnya, setidaknya secara prinsip, mungkin diperoleh dari teori lebih fundamental di atasnya. Hampir di puncak pohon terdapat relativitas umum dan teori medan quantum. Tingkat keturunan pertama meliputi relativitas khusus dan mekanika quantum, yang pada gilirannya menelurkan elektromagnetisme, mekanika klasik, fisika atom, dan sebagainya. Disiplin-disiplin semisal ilmu komputer, psikologi, dan kedokteran rupanya jauh berada di bawah.
Semua teori ini memiliki dua komponen: persamaan matematika dan pernyataan yang menjelaskan bagaimana persamaan-persamaan terhubung dengan apa yang diobservasi dalam eksperimen. Mekanika quantum, sebagaimana biasa disajikan dalam buku teks, memiliki kedua komponen: beberapa persamaan dan tiga postulat fundamental yang ditulis dalam bahasa Inggris jelas. Di tiap tingkat dalam hirarki teori di atas, konsep-konsep baru (contohnya proton, atom, sel, organisme, pembiakan) diperkenalkan karena mereka tidak menyusahkan, menangkap esensi kejadian tanpa berpaling pada teori-teori di atasnya. Kasarnya, rasio persamaan banding pernyataan terus menurun seiring kita menuruni pohon silsilah, anjlok hampir ke angka nol untuk bidang-bidang terapan seperti kedokteran dan sosiologi. Sebaliknya, teori-teori dekat puncak pohon sangat matematis, dan fisikawan masih berjuang untuk memahami konsep yang tersandi dalam matematika.
Cita-cita tertinggi fisika adalah menemukan apa yang secara jenaka disebut theory of everything, yang darinya semua [teori] lain dapat diperoleh. Jika teori demikian eksis, ia akan menempati posisi puncak di pohon silsilah, mengindikasikan relativitas umum dan teori medan quantum diperoleh darinya. Fisikawan tahu ada yang hilang di puncak pohon, lantaran kita tak punya teori konsisten yang mencakup gravitasi dan mekanika quantum, padahal alam semesta memuat kedua fenomena tersebut.
Sebuah theory of everything mungkin takkan memuat konsep sama sekali. Kalau tidak demikian, kemungkinan besar kita akan mencari penjelasan konsep-konsepnya dalam perspektif teori yang lebih fundamental lagi, dan seterusnya dalam kesurutan tak terhingga. Dengan kata lain, teori ini harus matematis murni, tanpa penjelasan atau postulat. Seorang matematikawan cerdas tak terhingga semestinya mampu memperoleh keseluruhan pohon teori dari persamaan semata, dengan mengambil dari atribut-atribut alam semesta yang dideskripsikan oleh persamaannya, serta atribut-atribut penghuninya dan persepsi mereka akan dunia.
100 tahun pertama mekanika quantum telah menghadirkan teknologi-teknologi hebat dan menjawab banyak pertanyaan. Tapi fisika mengangkat pertanyaan baru yang sama pentingnya dengan pertanyaan menonjol di masa pidato pelantikan Maxwell—pertanyaan mengenai gravitasi quantum dan sifat puncak realitas. Jika merujuk pada sejarah, abad mendatang semestinya penuh dengan kejutan menggairahkan.
Penulis
Max Tegmark dan John Archibald Wheeler mendiskusikan mekanika quantum secara ekstensif selama tiga setengah tahun pertama Tegmark sebagai peneliti pasca doktoral di Institute for Advanced Studies, Princeton, New Jersey. Kini Tegmark menjabat asisten profesor fisika di Universitas Pennsylvania. Wheeler adalah profesor emeritus fisika di Universitas Princeton, di mana mahasiswa sarjananya meliputi Richard Feynman dan Hugh Everett III (penemu interpretasi many-worlds). Dia menerima Wolf Prize 1997 dalam bidang fisika atas penelitiannya mengenai reaksi nuklir, mekanika quantum, danblack hole. Pada 1934 dan 1935 Wheeler mendapat keistimewaan mengerjakan fisika nuklir dalam kelompok Niels Bohr di Kopenghagen. Setibanya di institut di sana, dia bertanya kepada seorang pekerja yang sedang memangkas tanaman rambat di tembok, “Di mana saya bisa menemukan Bohr?” Pria itu menjawab, “Saya Niels Bohr.”
Max Tegmark dan John Archibald Wheeler mendiskusikan mekanika quantum secara ekstensif selama tiga setengah tahun pertama Tegmark sebagai peneliti pasca doktoral di Institute for Advanced Studies, Princeton, New Jersey. Kini Tegmark menjabat asisten profesor fisika di Universitas Pennsylvania. Wheeler adalah profesor emeritus fisika di Universitas Princeton, di mana mahasiswa sarjananya meliputi Richard Feynman dan Hugh Everett III (penemu interpretasi many-worlds). Dia menerima Wolf Prize 1997 dalam bidang fisika atas penelitiannya mengenai reaksi nuklir, mekanika quantum, danblack hole. Pada 1934 dan 1935 Wheeler mendapat keistimewaan mengerjakan fisika nuklir dalam kelompok Niels Bohr di Kopenghagen. Setibanya di institut di sana, dia bertanya kepada seorang pekerja yang sedang memangkas tanaman rambat di tembok, “Di mana saya bisa menemukan Bohr?” Pria itu menjawab, “Saya Niels Bohr.”
Kedua penulis ingin berterima kasih kepada Emily Bennett dan Ken Ford atas bantuan mereka dengan naskah terdahulu tentang topik ini, dan Jeff Klein, Dieter Zeh, dan Wojciech H. Zurek atas ulasan mereka yang bermanfaat.
Informasi Lebih Jauh
- One Hundred Years of Quantum Physics. Daniel Kleppner dan Roman Jackiw dalam Science, Vol. 289, hal. 893-898; 11 Agustus 2000.
- Beam Line. Special quantum century issue. Vol. 30, No. 2; Musim Panas/Musim Gugur 2000. Tersedia online diwww.slac.stanford.edu/pubs/beamline/pdf/00ii.pdf
- Max Planck: The Reluctant Revolutionary. Helge Kragh dalam Physics World, Vol. 13, No. 12, hal. 31-35; Desember 2000.
- The Quantum Centennial. A. Zeilinger dalam Nature, Vol. 408, hal. 639-641; 7 Desember 2000.
- Lebih lanjut soal dekoherensi, kunjungi www.decoherence.de
No comments:
Post a Comment