Indonesia di Zaman Kuno
(Sumber: “Sejarah Kita: The X-Files”, EraMuslim Digest Edisi Koleksi 9, hal. 24-25)
Kamis, 11 April 2002, Robert Dick-Read, peneliti sejarah purba dari London, tengah bekerja di depan komputernya. Sebuah surat elektronik masuk. Dari koleganya, Profesor Giorgio Buccellati, seorang arkeolog senior dari University of California Los Angeles (UCLA), yang sejak tahun 1976 aktif memimpin satu tim ekspedisi arkeolog mengeksplorasi wilayah sekitar Mesir.
Dalam suratnya, Buccellati mengaku kaget sekaligus kagum. “Saya menemukan sebuah porselen cekung yang diselimuti tanah bercampur pasir agak tebal. Setelah dibersihkan, ada fosil sisa-sisa tumbuhan mirip cengkeh di atasnya. Saya yakin itu cengkeh. Namun saya harus mengkonfirmasi temuan ini pada kolega saya, Dr. Kathleen Galvin, seorang ahli pelobotani (botani purba) yang pasti mengenal tumbuhan ini dengan baik.
Buccellati saat itu tengah melakukan penggalian di atas tanah bekas rumah seorang pedagang yang berasal dari masa 1.700 SM di Terqa, Eufrat Tengah. Galvin SEGERA DATANG. Setengah tak percaya, Galvin memastikan bahwa itu memang fosil tumbuhan cengkeh.
Kedua pakar tersebut kaget dengan temuannya. Sebagai pakar, mereka mengetahui jika tumbuhan tersebut hanya bisa hidup di satu tempat di muka bumi, yakni di Kepulauan Maluku, sebuah pulau kecil di antara belasan ribu gugusan pulau yang disebut Nusantara. Temuan Buccellati yang tergabung dalam The International Institute for Mesopotamian Area Studies (IIMAS) tersebut mengindikasikan bahwa di masa sebelum masehi, para pedagang sekitar Maluku telah sampai di daratan Mesir.
Sebuah penemuan arkeologi di Nusantara setelah Buccellati, mengimbangi penemuan cengkeh di Mesir. “Arkeolog berkebangsaan Inggris menemukan sisa-sisa biri-biri atau kambing di situs bekas pemukiman pada masa yang kurang lebih sama (1.500 SM) di pulau yang lebih jauh, yaitu pulau Timor yang berjarak beberapa ratus mil di sebelah selatan Kepulauan Maluku.”
Kedua temuan tersebut membuktikan kepada kita bahwa di masa sebelum masehi, di zaman para nabi-nabi, pelaut-pelaut Nusantara telah melanglang buana menyeberangi samudera dan menjalin hubungan dengan warga dunia lainnya. Bahkan Dick Read meyakini bahwa sistem pelayaran, termasuk perahu-perahu, dari para pelaut Nusantara-lah yang menjadi acuan bagi sistem dan bentuk perahu banyak negeri-negeri lain di dunia. Keyakinan ini diamini oleh sejumlah arkeolog dan sejarawan senior seperti Dr. Roland Oliver.
Nusantara merupakan gugusan belasan ribu pulau yang terletak di lokasi paling strategis di dunia dipandang dari sudut manapun. Inilah cikal bakal negara kesatuan Republik Indonesia. Nama “Indonesia” sendiri, yang berarti “Pulau-pulau India”, diberikan kepada kepulauan itu oleh seorang etnolog Jerman, dan telah dipakai sejak 1884. Awalnya Indonesia adalah nama geografis untuk menyebut semua pulau antara Australia dan Asia, termasuk Filipina. Gerakan nasionalis Indonesia mengambilnya dan membuatnya menjadi nama resmi untuk republik mereka pada 1945 dan 1949.
Nusantara atau Indonesia merupakan sebuah bangsa besar dan pernah memimpin peradaban dunia. Bangsa ini pernah menjadi pemimpin bagi dunia dagang dunia, di mana para pedagang Cina misalnya sangat tergantung pada pelaut-pelaut Nusantara. Bahkan sebuah literatur klasik Yunani Periplous tes Erythras Thalasses (70 M), yang terbit sebelum Rasulullah saw lahir, telah menulis suatu daerah bernama Chryse, sebuah nama Yunani untuk “Pulau Emas” atau dalam bahasa Sanskrit bernama “Swarna Dwipa”. Ini adalah nama lain bagi Pulau Sumatera.
Ptolomeus, seorang ahli navigasi Iskandariyah, juga pernah menyebut nama tersebut dengan istilah Chrysae Chersonesos yang mangacu pada semenanjung Barus, sebuah kampung kuno penghasil kapur barus yang diekspor ke Mesir sejak zaman Firaun, yang terletak di bagian utara Sumatera Utara.
Bahkan secara penuh kontroversial, nama Nusantara atau Indonesia ikut nimbrung sebagai salah satu kandidat lokasi tempat Benua Atlantis yang hilang, selain tentu saja nama-nama lokasi seperti Pulau Kreta di Yunani, Andalusia, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, dan Estremadura. Adalah penelitian dari Aryso Santos, ilmuwan Brazil, yang selama 30 tahun meneliti tentang Atlantis, menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Santos menulis buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” (2005), yang menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia.
No comments:
Post a Comment